Palestina, wilayah yang terdiri dari Tepi Barat dan Jalur Gaza, memiliki sejarah yang rumit dan seringkali berada dalam kondisi politik yang tidak stabil. Meski demikian, bandara berperan penting dalam mendukung mobilitas penduduk dan menghubungkan wilayah ini dengan dunia luar. Saat ini, Palestina memiliki beberapa bandara, meskipun operasional mereka sering terhambat oleh situasi politik dan konflik. Artikel ini akan membahas dua bandara utama di Palestina: Bandara Internasional Yasser Arafat dan Bandara Al-Quds.
Bandara Internasional Yasser Arafat, juga dikenal sebagai Bandara Gaza, terletak di Jalur Gaza, dekat kota Rafah. Bandara ini dibuka pada tahun 1998 dan diberi nama untuk menghormati pemimpin Palestina, Yasser Arafat. Bandara ini dibangun dengan bantuan dari beberapa negara dan organisasi internasional sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan infrastruktur Palestina.
Pada puncak operasinya, Bandara Yasser Arafat dilengkapi dengan terminal penumpang modern, landasan pacu sepanjang 3.070 meter, dan berbagai fasilitas lainnya seperti area parkir, restoran, dan toko-toko. Bandara ini diharapkan dapat menjadi pusat transportasi yang menghubungkan Gaza dengan dunia internasional.
Sayangnya, bandara ini mengalami kerusakan berat akibat serangan militer Israel pada tahun 2001 dan 2002 selama Intifada Kedua. Sejak saat itu, bandara ini tidak beroperasi dan upaya untuk memperbaikinya terkendala oleh blokade dan situasi politik yang tidak stabil di Gaza. Saat ini, bandara ini tidak berfungsi dan hanya ada sedikit harapan untuk dibuka kembali dalam waktu dekat tanpa solusi politik yang komprehensif.
Bandara Al-Quds, juga dikenal sebagai Bandara Atarot, terletak di bagian utara Yerusalem Timur, dekat kota Ramallah di Tepi Barat. Bandara ini awalnya dibuka pada tahun 1920-an oleh British Mandate dan kemudian digunakan oleh Yordania sebelum Perang Enam Hari pada tahun 1967, ketika wilayah tersebut diambil alih oleh Israel.
Sebelum penutupan, Bandara Al-Quds memiliki terminal penumpang kecil dan landasan pacu yang mampu melayani penerbangan domestik dan regional. Bandara ini terutama digunakan untuk penerbangan komersial skala kecil dan penerbangan militer.
Setelah Perang Enam Hari, bandara ini menjadi tidak aktif untuk penerbangan komersial. Meskipun ada beberapa upaya untuk membuka kembali bandara ini untuk penerbangan komersial dan membantu mengurangi ketegangan politik, hingga kini Bandara Al-Quds tetap tidak beroperasi secara penuh. Keberadaan bandara ini masih menjadi isu yang sensitif dalam negosiasi politik antara Israel dan Palestina.
Meskipun menghadapi banyak tantangan, ada harapan bahwa di masa depan, dengan adanya perdamaian dan stabilitas politik, bandara-bandara di Palestina dapat dikembangkan kembali dan beroperasi untuk mendukung mobilitas penduduk serta meningkatkan perekonomian. Investasi internasional dan dukungan dari komunitas global akan sangat penting untuk mewujudkan hal ini.
Organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa, dan negara-negara donor lainnya dapat berperan penting dalam membantu Palestina membangun kembali infrastruktur bandara mereka. Selain itu, perdamaian dan stabilitas regional akan menjadi faktor kunci dalam menentukan masa depan bandara-bandara ini.
Bandara di Palestina mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh wilayah ini akibat konflik dan ketidakstabilan politik. Bandara Internasional Yasser Arafat dan Bandara Al-Quds, meskipun saat ini tidak beroperasi, tetap menjadi simbol harapan bagi rakyat Palestina. Dengan adanya solusi politik yang damai dan dukungan internasional, ada kemungkinan bahwa bandara-bandara ini suatu hari dapat berfungsi kembali, membantu menghubungkan Palestina dengan dunia luar dan mendukung pembangunan ekonomi serta mobilitas penduduk.